Kenapa mereka berbeda tapi sama
A.Prolog
Sesungguhnya perbedaan antara maqom kholik dan makhluk adalah batasan yang memisahkan antara kekafiran dan keimanan dan kita berkeyakinan bahwa yang orang yang mencampur adukan antara kedua maqom yang tidak ada titik persamaan di antara keduanya tersebut maka sungguh dia telah masuk wilayah kekafiran, “semoga Allah melindungi kta darinya”. (1)sayyid muhammad almalik mafahim yajib an tushohah cet:assofwah hal 86
Rasulalloh saw menyampaikan ajaran tauhid sebagaimana para rasul sebelumnya menyampaikan pada umatnya. Agama samawi yang pada dasar inti ajarannya adalah menanamkan keyakinan atas perbedaan maqom kholik dan makhluk.
![]() |
| Kenapa Asyaa’iroh dan Maturidiyah berbeda tapi sama? |
Terjadi pergeseran akidah bahkan penyimpangan akidah pada umat yang ini terjadi terkadang di lakukan “ulama” mereka. Ini akan selalu datang berganti baik ketika para Rasul masih hidup atau pun telah wafat. Karena telah menjadi sunatulloh bahwa kehidupan ini tidak akan lepas dari hal yang berpasangan pun demikian, kebaikan berpasangan dengan kebathilan dan hak selalu berpasangan dengan kebathilan,ada ta’at dan maksiat, dan kalau orang salafi akan menambahkan point utama dalam setiap pembahasan mereka ‘ada sunah ada bid’ah’ .
Lahirnya kesesatan yang dilakukan oleh Musa As samiry dengan melakukan penyembahan anak sapi yang terbuat dari emas ini terjadi bahkan ketika Nabi Musa masih hidup.
(2) al-Qur’an
Orang yahudi mengatakan bahwa Nabi uzair AS putra Allah,orang nasroni pun mengatakan hal yang sama kepada Nabi Isa as.
(3) Kalau menilik dengan teliti tentunya ajaran Nabi uzair as dan Nabi isya as sendiri semestinya jauh dari apa yang mereka lakukan bahkan besebrangan.
(3)al-Qur’an
Begitu pula pada umat Nabi Muhammad saw.di masa beliau masih hidup kesesatan berakidah dalam naungan panji-panji islam yang mengarah pada ‘adamu fashl baina Kholik Wal Makhluk (tidak adanya perbedaan antar maqom Kholik dan Makhluk) belumlah bermunculan. Mereka adalah Umat Wahidah yang tidak ada perselisihan diantara mereka baik dalam akidah atau amaliyah yang mengakibatkan timbulnya tafarruq, tahazzub, wa ta’ashub di antara mereka sebagaimana Alloh fuji mereka dalam al-Quran “kamu adalah umat terbaik yang di lahirkan .. .
(3)al-Qur’an ali imron 110 Begitu selanjutnya dalam masa khalifah Abu bakar Ra. Mulai timbul sedikit ikhtilaf di jaman khalifah Umar bin Khatab tapi seberapa, dan tambah jelas pada masa khalifah utsman bin Affan. Baru di masa khalifah Ali bin Abu Tholib perseteruan tersebut tambah semakin jelas sehingga pada masa ini umat mulai berpecah belah dan berselisih pendapat sehingga melahirkan golongan al-Khawarij yang mengibarkan Raayah al khilaf, sebagai perlawanan kepada khaifah Ali bin Abu Tholib. Dan pada sisi yang lain yang bersebrangan lahir pecinta-pecinta ektrim yang di kenal dengan nama golongan syi’ah. Sungguh kebencian dan kecintaan yang ektsrimis tidak menjadikan umat wasatho sebagaimana yang kita di haruskan termasuk sebagian dari mereka dalam al-Qur’an.
(4) al-Quran al baqoroh 143. Khilafiyah di antara mereka tidak menjadikan timbulnya akidah sempalan yang keluar dari syariat yang telah di ajarkan Rasulallah sampai pada masa Tabi’in –mungkin ini yang isyaratkan “sebagus-bagus kurun adalah kurunku...-
(3) kecuali ketika para Tabi’in mulai sedikit maka lahirlah golongan yang menamakan dirinya Ahlu Adli Wa Tauhid atau lebih dikenal dengan aliran Mu’tazilah.
(5)syekh abi fadhol , alkwakib al lama’ah hal 7 maktabah thoha putra semarang
Di abad ke tiga hijroh yang di sebutkan sebagai periode supremasi( al ‘ashar al-dzahabi ) ilmu pengetahuan islam,dengan kebebasan berfikir yang menjadi identitas masa tersebut . setiap orang berhak mengeluarkan pandangan dan menguatkannya dengan beragam bukti dan argumentasi. Implikasinya, berbagai aliran pemikiran berkembang begitu pesat dengan meraup banyak pengikut dan pendukung yang loyal membela dan mempertahankannya.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan islam pada saat itu di tandai dengan munculnya para ulama terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan keislaman. Dalam bidang hadits,abad ketiga menyaksikan lahirnya karya-karya terbaik dan ulama-ulama besar yang menjadi rujukan sepanjang masa ,seperti Muhammad bin Ismail al-Bukhori (194-256H /810-870 M)-pengarang Sahih al-Bukhori-, Muslim bin al Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi (204-261 H/820-875 M).
Dalam bidang fiqh,tampil para mujtahid terkemuka dan pakar-pakar fiqh besar yang mengawal madzhab-madzhab tertentu,seperti Dawud bin Ali as-Shibhani (201-270 H/816-884 M) pendiri madzhab Zhahiri, dan anaknya yang bernama Muhammad bin Dawud as-Shibhani (255-297 M/869-910 M) yang mengawal madzhab ayahnya,Muhammad bin Zarir al-Thobari (224-310 H/839-923 M) pendiri madzhab Jariri,yang memiliki karya terpenting dalam bidang tafsir, fiqih, teologi, dan sejarah. Dari kalangan pengikut madzhab Maliki, tampil al-Imam Ismail bin Hammad (w. 282 H/895 M).Dari kalangan Syafi’i tampil Imam Abu Al al-karibisi (w.248 H/895 M), al-Za’farani (w.259 H/873 M),Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij (w. 306 H/918 M) dan Abu Ishaq al-Marwaji (w.340 H/951 M) yang menyebarkan madzhab as-Syafi’i di Irak dan Mesir. Dan pengikut Hanbali, tampil pula Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (213-290 H/828-903 M).(6) Muhammad Idrus Romli Madzhab al-Asy’ari benarkah Ahlu Sunah wal Jama’ah
Dalam bidang tashawuf, abad ketiga merupakan masa terbaik dalam perkembangan ilmu tashawuf. Dimana pada saat itu mulai di perbincangkan aspek-aspek tashawuf yang belum pernah menjadi objek kajian pada masa sebelumnya, seperti pembahasan tentang seluk-beluk etika,nafsu dan suluk( perjalaan spiritual seorang shufi menuju Allah SWT) dengan lebih mendatail . Kajian kaum sufi pada masa itu mulai merambah terhadap persoalan ma’rifat dan metodologinya, tauhid, fana dan lainnya. Pada periode tersebut di mulai aktivitas penulisan kitab-kitab dalam bidang tashawuf dengan tampilnya al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 M/857 M) yang memiliki banyak karangan dalam bidang tashawuf, Abu Sa’id Ahmad bin Isa al-kharraz (w. 286 H/899 M) penulis kitab al-shidq, Abu al-Qoshim al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi (297 H/910 M) peletak kaedah tashawuf dan menjadi rujukan kaum sunni dalam bidang tashawuf, Muhammad bin Ali al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H/932 M), penulis kitab nawadir al-ushul, khatm al-auliya dan lain-lain.
Telah menjadi sunatullah bahwa kebaikan dan keburukan bagaikan dua mata uang yang tidak akan bisa dipisahkan, awor sumur sing agung bayune, pecerene yo luweh-luweh, susu itu berkumpul di badan satu dekat dengan darah dan kotoran.
Mungkin ini pula yang terjadi pada abad ketiga Hijrah, di saat supremasi pengetahuan islam berjaya disaat yang sama pula bahaya mengancam dan merongrong keutuhan teologi keislaman. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan Abu al-Ma’ali bin Abdul Malik Syaidzalah (w. 494 H/1100 M) berikut ini,
“Setelah tahun 260 H berlalu, tokoh-tokoh ahli bid’ah angkat kepala dan masyarakat awam berada dalam ancaman, bahkan ayat-ayat agama mulai terhapus bekasnya dan bendera kebenaran mulai terhapus kabarnya.”
Pernyataan ini menggambarkan tentang begitu merajarelanya aliran-aliran sempalan dalam islam pada paruh kedua abad ketiga Hijriyah.
Di antara aliran yang paling menghegemoni dan punya power yang kuat waktu itu adalah aliran mu’tazilah. Aliran ini masuk ke kalangan ulama, umara,kalangan muda dan lanjut usia bahkan sampai pada tingkat perumahan, mungkin Rt kalau jaman sekarang. Dikatakan bahwa aliran mu’tazilah mendapat dukungan tiga khalifah Abbasiyah sebelum al-Mutawakkil, yaitu al-Makmun (198-218 H/813-833 M), al-Mu’tashim (218-227 H/833-841 M) dan al-Watsiq (227-232 H/841-846 M). Atas kebijakan ketiga khalifah tersebut masyarakat diharuskan mengakui ideologi kemakhlukan Al-qur’an.
Ke daerah timur Washil bin Atha’ pendiri aliran mu’tazilah mengupayakan untuk melebarkan jaringan keMu’tazilah dengan mengutus muridnya Hafsh bin Salim sehingga tersebar di Irak dan Khurasan (Afghanistan).
Ke daerah barat Washil bin Atha’ pendiri aliran mu’tazilah mengupayakan untuk melebarkan jaringan keMu’tazilah dengan mengutus muridnya Abdullah bin Harits sehingga tersebar di wilayah Maroko, Tunisia, dan Libia.
Pada masa khalifah al-Mutawakil Ahlussunah Wal-Jama’ah menang secara politik melawan aliran Mu’tazilah dengan di singkirkannya Golongan Mu;tazilah dari kekuasaan khalifah. Pada tahun pertama pemerintahannnya al-Mutawakil mengeluarkan keputusan pembatatalan kemakhlukan al-Qur’an yang telah di terapkan oleh tiga khalifah sebelumnya, melarang memmperdebatkannya dan menganjurkan penyebaran Ahlussunah Wal-Jama;ah. Pada tahun kedua al-Mutawakil mengeluarkan kebijakan yang lebih keras yaitu ancaman bagi yang orang memperbincangkan kemakhlukan al-Qur’an dan selanjutmnya menganjurkan para para fuqoha dan ahli hadits untuk menyebrkan dalil –dalil hadits seputar sifat Allah dan keyakinan jaiznya melihat Allah di akhirat dengan tanpa takayyup sebagai bantahan atas apa yang menjadi keyakinan yang menyatakan bi ‘adamu ar-ru’yatillah. Bahkan pada tahun 237 H/851 M, al-Mutawakil mengambil keputusan yang lebih keras dengan memberhentikan dengan tidak hormat Ahmad bin Abu duad – ulama mu’tazilah-, sebagai hakim dan menggantikannya dengan Yahya bin Aktsam. Juga pada masa kekhalifahannya banyak tokoh Mu’tazilah yang di tahan dan di deportasi jauh dari istana khalifah.
Namun hingga wafat khalifah al-Mutawakil pada tahun 247 H/861 M, pengikut Mu’tazilah tetap menyebar di hampir di semua wilayah,dan mereka tetap konsisten dengan keyakinannya. Ini karena di sebabkan teologi Mu’tazilah sudah tertanam dalam, dan mengakar pada tingkat paling bawah kehidupan bermasyarakat sejak adanya dukungan ketiga khalifah sebelum khalifah al-Mutawakil dan memang pada waktu itu Daulah Abbasiyah dalam kondisi ambang bahaya. Sejak tahun 334 H/948 M tahun dengan sampai tahun 447 H/1055 M tahun jatuh di bawah cengkraman penguasa Bani Buwaih yang berfahamkan Syi’ah dan Mu’tazilah. Kemudian jatuh dalam kekuasaan Bani Saljuq yang berkuasa sejak tahun 447 H/1055 M, sampai pada akhirnya terjadi keruntuhan tragis dalam islam di tangan orang Tartar yang menginvasi negara-negara islam pada tahun 656 H/1258 M.
Mu’tajilah aliran yang sangat mempengaruhi aliran-aliran sempalan islam lainnya. Dalam realita yang ada beragam aliran sempalan dalam islam seperti khawarij, syiah, dan lainnya mengadopsi metodologi dan ideologi mu’tazilah. aliran yang mendominasi banyak tokoh dan pengikut. (7) Idrus Romli ,Madzhab Al-Asy’ary hal 7 cet:khalista surabaya
Abad ketiga menyaksikan juga terjadinya kegoncangan intelektualitas yang sangat berbahaya. Di satu pihak golongan yang berorientasi pada rasio atau rasionalis yang menjadikan hanya akal yang menjadi pengemudi dalam berakidah yang di wakili oleh aliran Mu’tazilah , dan di pihak yang berlawanan lahir golongan yang berorientasi pada teks atau tekstualis, yang menjadikan teks sebagai kemudi dalam berakidah yang di wakili aliran hasyawiyah (aliran yang menyematkan dirinya sebagai pengikut al-Imam Ahmad bin Hanbal padahal beliau terbebas dari pendapat mereka). Kedua aliran kepahaman yang ektrim ini akan menimbulkan hal yang fatal dalam kehidupan berakidah. Rasionalis akan menjadikan kehancuran islam karena dengan dengan mudahnya mereka melakukan ta’wil sembrono terhadap al-Qur’an dan tidak akan percaya hadit-hadits shahih dengan hanya satu alasan “ tidak rasional”. Sedangkan tekstualis akan menimbulkan kepahaman tasybih wa tajsim dengan hanya mengandalkan teks tanpa rasio bahkan mereka akan melakukan ijtihad buta tanpa dasar pijakan yang kuat dan tanpa syarat kemampuan yang memadai.
Allah maha mengatur dengan bijak, disaat itulah di butuhkan dengan sangat satu golongan yang bisa mengakomodir serta mengambil jalan tengah antar dua kelompok yang bersebrangan -rasionalis dan tektualis-, sehingga lahirlah al-Imam Abu Hasan al-Asy’ary as-Syafi’i (260-330 H/873-947 M) di wilayah Bashro Irak, al-Imam Abu manshur al-Maturidy al-Hanafy (w.334 H/944 M) di Samarkand Uzbekistan dan al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi al-Hanafi (239-321 H/853-933 M) di Mesir. Akan tetapi pada perkembangannya ajaran dan pengikut al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi al-Hanafi melebur dengan al-asy’ary dan al-Maturidy sehingga yang menjadi hanya kepada kedua orang inilah AhluSunah Wal Jama’ah dari unsur teologi di sematkan.
B.Perbedaan antara al-Asy’ary dan al-Maturidy
a.sifat takwin
-Menurut al-Imam Abu al-Mu’in al-Maturidy,” ketahuilah bahwa takwin, takhliq, khalq, ijaad dan ihdats adalah kata yang sama ma’nanya yaitu mengeluarkan hal yang tidak ada menjadi ada,akan tetapi kami khususkan takwin karena mengikut ulama terdahulu kami.Pernyataan beliau selanjutnya mengatakan bahwa qidamnya takwin tidak menjadikan qidamnya mukawwan (alam/makhluk).Bagi al-Maturidy sifat takwin bagian dari sifat al-Ma’ani kedelapan bagi Allah ta’ala bahkan mereka menambahkan sifat al-Ma’ani yang lain yaitu sifat idrak, adapun selanjutnya pada sifat a-Ma’anawiyahnya ada sifat kaunuhu mukawwinan atau kaunuh mudrikan,maka aku tidak melihat nash yang pasti dari pertanyaan tersebut tapi yang lebih dekat pada kepahaman al-Ma’nawiyah tulazimu ma’ani. Sifat takwin menurut mereka bermacam sesuai dengan ta’aluqnya (hubungan yang mengikatnya). Apabila berhubungan dengan kehidupan maka di sebut ihya’ dan apabila berhubungan dengan kematian maka di sebut imatah, dengan wujud di sebut ijaad.(8) al-Imam Ibrohimal-Baijuri hasyiah tahqiqul maqm ‘ala kifayatul ‘awwam li as Syekh Muhammad al-Fadholi.cet:maktabah wamathba’ah Karya Thoho semarang. Hal 61
-menurut Mu’tazilah dan Najjriyaah bahwa tetap sifat apa saja pada dzat qodim itu mustahil, berarti mereka menafikan sifat takwin(annasafi 206).
-menurut Asya’iroh; apa artinya sifat takwin setelah wajibnya sifat qudrat bagi Allah? Karena al-Maturidy mengatakan bahwa Allah mewujudkan dan meniadakan dengan sifat takwin dengan pernyataan mereka bahwa sifat qudrat memfasilitasi (al-isti’dady) sesuatu mungkin yang belum wujud untuk menjadi wujud, dan dengan sifat takwinlah mewujudkannya. Al-Asy’ari menolak pernyataan tersebut karena; sesuatu yang mungkin dengan sendirinya sesuai asal mula kejadiannya adalah yang menerima untuk wujud dan tiada tanpa fasilitas lain(imkany).
b.sifat af’al
-menurut al-Maturidy sifat af’al itu hukumnya qadim karena bagian dari nama-nama sifat wajib bagi Allah yaitu sifat takwin,jadi menurut mereka semisal ihya’ ,ijaad adalah qodim sebagaimana sifat takwin.
-menurut al-Asy’ari sifat af’al itu hukumnya hadits karena sifat af’al semisal ihya’ ,ijaad itu sebagian dari nama-nama untuk ta’aluqnya sifat qudrat at Tanjiziyah Haditsiyah bukan qudrot suluhiyah qodimiyah. al-Imam Ibrohimal-Baijuri hasyiah tahqiqul maqm ‘ala kifayatul ‘awwam li as Syekh Muhammad al-Fadholi.cet:maktabah wamathba’ah Karya Thoho semarang. Hal 61
c.wujud Allah
-menurut al-Imam As’ari wujud adalah ainul maujud dan menurut lainnya wujud adalah hal yang wajib menetap pada suatu dzat selagi tetapnya dzat tersebut. Dan menurut yang ketiga; yang wajib bagi orang mukallaf adalah menyakini bahwa dzat Allah itu ada nyata sehingga kalau hijab di buka maka kita akan melihatnya bil takayyup, tidaklah wajib mengetahui apakah wujud adalh ainul maujud atau hal yang wajib menetap pada suatu dzat selagi tetapnya dzat tersebut dan inilah pendapat yang selamat karena tidak membahas sesuatu yang kita tidak tahu itu yang lebih selamat.
d.hikayat dari kalam Allah
Sepakat bahwa kalam Allah adalah sifat Allah yang tetap wajib (akliy) bagi Allah dan huruf-huruf dalam al-Qur’an adalah ibarat dari kalam tersebut. Perbedaan mereka;
-menurut al-Maturidy di bolehkan hikayat dari kalam Allah;semisal di ucapkan, “ibarat-ibarat ini merupakan hikayat dari kalam Allah Ta’ala”.tapi sebagian orang yang hati-hati dari mereka menyatakan yang lebih selamat itu mengucapkan; Allah berfirman tentang khabar dari seseorang.
-menurut al-Asy’ari tidak bolekan melakukan hikayat demikian karena akan menimbulkan musyabahah.(9) Abu Mu’in Annasafi fashlun fil hikayat ‘an kalami allahi
e.Yang di dengar dari kalam
sepakat antara al maturidy dan al-Asy’ari bahwa yang di dengar itu bukan hanya suara.mereka berbeda pendapat dalam teknisnya. Berbeda dengan mu’tazilah bahwa Allah tidak lah bersifat kalam di jaman azaly karena sifat kalam itu bagian dari sifat af’al.
-menurut al-maturidy kita mendengar kalam Allah dengan telinga m dengan mengerti kandungannya, akan tetapi bukan “berarti ketika ada orang membaca al-Qur’an lalu kita mendengarnya lalu berkata kita mendengar sifat kalam Allah”.
-menurut al-Asyari ahlu janah bisa mendengar kalam Allah dengan semua anggota badan dari semua arah dengan tanpa huruf dan suara.Karena yang bisa di dengar itu suara adalah amrun ‘adiy sedangkan wenang baginya memperdengarkan tanpa suara.(10) Muhammad Annawawi al_bantani fathul majid cet al-Hidayah Hal 34
f. melihat Allah
Sepakat antara al maturidy dan al-Asy’ari bahwa Allah bisa di lihat di surga berbebeda dengan mu’tajilah dengan beberapa alasan;di antaranya :
a.sesuatu yang wujud wenang di lihat
b.Nabi Musa tadalah maksum dan wajib bersifat fathonah haram atau tidak mungkin terjadi.
c. di ta’alukan dnganga tetapnya gunung padahal tetapnya gunung itu jaiz
d. diikuti dengan ayat لن ترني ...
perbedaan antara mereka sebagaimana yang terjadi dalam masalah mendengar kalam Allah.
g.dalam lafadz كن
-menurut al-Maturidy adalah ta’laqul wujudil alam fi khitobi kun
-menurut al-Asya’ari ibarotun ‘an sur’atil ijaad min ghairi ta’adzurin
C.epilog
Pada dasarnya manusia punya sahwat, nafsu dan akal berbeda yang mendorongnya untuk menjadi makhluk istimewa karena punya hasrat, kemarahan dan pemikiran berbeda. Alangkah indahnya apabila kesemua nya itu mengikuti aturan dan keRidhaan sang penciptanya. Saling mengisi, tidak memaksakan dan selalu sadar bahwa kita bukan makhluk yang sempurna. Mereka telah melakukan perbedaan akan tetapi tetap bersama.
Kenapa Asyaa’iroh dan Maturidiyah berbeda tapi sama?
Oleh: iis agus jailani
